Industri pertambangan tumbuh menjamur. Menghiasi wajah bumi pertiwi, menderuh di tengah kisah klasik busung lapar bangsa ini. Di tengah “parade” kemiskinan dan penduduk lokal yang semakin terpinggirkan. Di tengah heroiknya pidato dan kampanye kesejahteraan bangsa yang semakin jauh dari mimpi anak-anak pertiwi. Di tengah berlipatgandanya pengangguran tenaga kerja lokal yang belum sepenuhnya mendapatkan solusi, termasuk sektor pertambangan sekalipun. Walau janjinya muluk melangit
Mengejutkan jika menelusuri bisnis industri pertambangan ini. Pertambangan bukan sekedar aktifitas menggali potensi kandungan bumi untuk kesejahteraan rakyat. Pertambangan bukan aktifitas masyarakat lokal menggali kekayaan alamnya. Tuduhan “PETI” – penambang tanpa izin pernah marak di masa Orde Baru. Tuduhan yang mendiskreditkan dan sekaligus mengkriminalisasi aktivitas penambangan emas oleh rakyat, misalnya yang terjadi di belantara Kalimantan. Pertanyaannya, mengapa kreativitas rakyat menggali secara terbatas kandungan alamnya dituduh kriminal?
Ternyata di negeri ini, tambang dan pertambangan bukan sekedar ada kandungan bumi pertiwi yang kemudian menjadi kekayaan anak-anak pertiwi. Ketika memasuki urusan kepentingan umum dan demi kesejahteraan rakyat yang hak mutlak pengaturannya berada di tangan negara, maka posisi hak bergeser. Posisi pertambangan bukan lagi kekayaan rakyat Indonesia. Pertambangan menjadi kekayaan strategis bangsa, dan karena itu pengaturannya mutlak menjadi tanggungjawab pemerintah yang diatur oleh UUD 1945, semisal pasal 33 ayat 3, dan aneka kebijakan turunannya . Ini problem bangsa.
Karena terminologi sumberdaya alam sebagai kekayaan negara dan bukan kekayaan rakyat, maka hak pengaturan pemanfaatan tambang menjadi hak politik pemimpin politik bangsa. Misalnya, belum setahun menjadi Presiden, April 1967 Soeharto menandatangani perjanjian dengan PT. Freeport untuk usaha pertambangan tembaga di Papua. Sejak itu, perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu resmi beroperasi di Papua. Mengeruk deposit tambang tembaga, termasuk emas dan uranium. Setelah 40 tahun berlalu, perusahaan ini belum beranjak dari tanah Papua. Dapat dibayangkan, berapa banyak aset bumi papua telah berpindah tangan ke pebisnis Amerika? Dan dapat dibayangkan pula, seperti apakah bentuk kerusakan alam Papua? “Gunung” berubah menjadi “lapangan rata, berlubang bahkan Danau” adalah fakta yang wajib dipelajari ketika memutuskan membuka pertambangan baru di belahan lain Republik ini?
Latar belakang penyerahan aset tambang di Papua itu di kemudian hari menjadi pertanyaan, polemik dan spekulasi kalangan kritis. Pada akhirnya hanya misteri. Bahkan ada pihak yang menduga, masuknya modal Amerika Serikat itu berhubungan erat dengan perjanjian rahasia pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Amerika Serikat. Dugaan ini dikaitkan dengan dukungan menumbangkan rejim sebelumnya (Menggugat Ekspansi Industri Pertambangan di Indonesia, Pustaka Latin).
Dugaan dan analisis semacam ini mungkin dibantah. Bantahan yang bisa benar bisa juga pembelaan diri. Namun dugaan dan analisis seperti ini hendak berceritera gamblang bahwa pertambangan bukan sekedar aktivitas menggali kekayaan bumi. Pertambangan merupakan sebuah industri, sebuah bisnis yang mendapat dukungan politik penuh para pemimpin politik. Pertambangan tidak luput dari Politik Industri Pertambangan.
Sebagai sebuah industri, aktivitas pertambangan merupakan aktivitas bisnis dengan managemen teruji. Dengan dukungan finansil teraudit. Dengan jaminan keamanan yang terukur. Dan ketika industri itu merupakan hubungan bisnis antar negara, dan menjadi keputusan politis pemimpin politik suatu bangsa, maka pertambangan bukan aktivitas ekonomi tetapi aktivitas politik. Di dalamnya bergulir tawar menawar bahkan pertarungan kepentingan. Dalam pertarungan ini, kepentingan lingkungan dan kepentingan kesejahteraan masyarakat lokal berada pada posisi marginal. Pelajaran penting di tengah gemerlapnya politik bisnis pertambangan di negeri ini, dengan aneka janji kesejahteraan masyarakat lokal.
Jika ceritera pertambangan selama ini datang dari pulau seberang, seperti Kalimantan dan Papua, sekurangnya sepuluh tahun terakhir ceritera itu semakin rapat mendekat. Operasi pertambangan PT. New Mont Nusa Tenggara di pulau Sumbawa telah mendekatkan industri ini ke Nusa Tenggara. Menyusul di pulau Timor dengan Tambang Batu marmer, yang juga bermasalah dengan masyarakat lokal. Dan kini lagi bergeliat dan bergolak proses pertambangan emas di pulau Lembata. Bisnis pertambangan semakin mendekat.
Mungkinkah rencana operasi pertambangan di Lembata merupakan skenario yang kami disebut di sini sebagai Poltik Industri Pertambangan? Menarik untuk direfleksikan dalam kerangka konstelasi politik dan ekonomi lokal Lembata belakangan.
Saya mau memulai dari sejumlah komunikasi kalangan LSM Nusa Tenggara dalam media elektronik milisgroup “infonusra” yang dikelola Studio Drya Media (SDM) Kupang. Bulan Februari 2007, sedang marak gelombang keberatan dan protes masyarakat Leragere. Di milisgroup ini kalangan LSM, terlebih dari Nusa Tenggara Barat, menulis apresiasi, pujian dan kekaguman pada Pemda Lembata. Ada apa?
Di sana, kerja sama yang panjang antara DFID/MFP, Lap Timores Cs dan Pemda Lembata melalui Dinas Kehutanan, telah berhasil membangtun Forum Multipihak Pengelolaan Hutan. Dan yang menjadi pokok pujian bagi Pemda Lembata saat ini lantaran di kabupaten itu sedang dibahas Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Sebuah kebijakan politik pembangunan untuk pengelolaan hutan yang berdampak pada kesejahteraan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Saya belum membaca draft Perda itu. Namun dalam bayangan saya, dengan Perda itu masyarakat difasilitasi untuk bersama mengelola hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi. Kebijakan politik sektor kehutanan untuk kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan kelestarian hutan.
Momentum politik lain lagi di Lembata ketika ramai-ramai menjelang proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2006. Bupati Andreas Duli Manuk dengan keberanian penuh mengeluarkan SK Sementara mengizinkan masyarakat Leragere di kecamatan Lebatukan untuk mengelola hutan lindung di wilayah itu. Momentum itu disambut sangat hangat. Bahkan memprosesikan Misa Syukur oleh Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr. Gambaran hubungan harmonis antara pemerintah, lembaga agama dan masyarakat, yang sering dipentaskan pada avent tertentu, semisal event politik PILKADA.
Analisis kepentingan dalam seluruh proses ini dapat saja dibangun. Apalagi ketika saat ini, untuk pertambangan di Lembata, Bupati yang sama, tanggal 28 Agustus 2006, hanya beberapa hari setelah dilantik menjadi Bupati Lembata, telah bersama Ketua DPRD Lembata di sebuah Hotel di Jakarta menandatangani Rekomendasi untuk Menteri Pertambangan dan Enerji agar mengeluarkan Kontrak Karya Pertambangan di Lembata bagi PT. Puku Afu Indah, anak perusahaan PT. Merukh Enterprices. Perusahaan ini yang akan melakukan usaha pertambangan di kawasan hutan yang sama, di Leragere. Dua keputusan politik yang dikeluarkan secara beruntun dalam tenggang waktu relatif singkat, dan oleh pejabat politik yang sama. Kontroversial? Bisa demikian! Apakah langkah Ketua DPRD Lembata ini telah mendapat persetujuan dan dukungan politik penuh melalui Keputusan Dewan? Rakyat tentu berhak bertanya ke lembaga wakil rakyat ini.
Analisis kepentingan akan menggali alasan mengapa dan atas nama kepentingan apa SK Sementara pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat? Dan mengapa serta atas nama kepentingan apa rekomendasi pertambangan dikeluarkan atas obyek yang sama dan oleh pejabat yang sama? Dalam analisis kepentingan tanpa investigasi mendalam sekalipun, dugaan adanya kepentingan politik dan bisnis yang mungkin diperhitungkan para pejabat politik Lembata pantas dikedepankan sebagai isu.
Kembali ke keputusan Soeharto menandatangani perjanjian dengan PT. Freepot untuk pertambangan tembaga di Papua hanya beberapa bulan setelah lolos menjadi Presiden. Dapatkah kebijakan politik Soeharto ini diparalelkan dengan kebijakan politik di Lembata? Apakah ada kesamaan? Apakah terdapat dugaan kepentingan politik serupa? Misalnya, dugaan kepentingan politik seperti apa untuk menganalisis alasan dikeluarkan SK sementara pengelolaan hutan Leragere? Dan dugaan kepentingan politik dan bisnis seperti apa, ketika Bupati dan Ketua DPRD Lembata menandatangani rekomendasi pertambangan untuk lokasi yang sama?
Analisis boleh saja menduga demikian. Masyarakat dapat saja menaruh curiga. Pemerhati masalah pertambangan sekalipun dapat berasumsi. Namun jawaban yang pasti dan jujur hanya ada dalam hati nurani para pemimpin politik di sana. Kalau benar dugaan bahwa keluarnya SK sementara pengelolaan hutan lindung saat itu bernuansa politis PILKADA, maka harap masyarakat Leragere maklum bahwa SK sementara itu akan gugur demi politik dan bisnis pertambangan saat ini. Tapi masyarakat juga berhak menduga bahwa pertambangan mungkin telah menjadi isu politik saat PILKADA dalam relasi politik dengan komunitas bismis pertambangan. Kita tunggu saja, apakah Uskup Larantuka dan para tokoh agama akan diundang dan beresedia menghadiri prosesi peresmian pertambangan? Jika ya, maka lengkaplah kolusi kekuatan politik, bisnis dan lembaga agama. Lalu rakyat yang tersisihkan hanya bisa berdoa agar prahara ini segera berlalu.
Melkhior Koli Baran, Direktur Walhi NTT periode 2001-2005, kini Ketua Flores Instiotute for Resources Development (FIRD).
Sumber: harian Flores Pos, 20 Maret 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment