JUMAT besok, 4 Agustus 2006, merupakan momen bersejarah dan penting bagi rakyat Lembata. Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Piet A Tallo, S.H, atas nama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Ma’ruf melantik Drs. Andreas Duli Manuk dan Drs. Andreas Nula Liliweri sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lembata periode 2006 - 2011.
Keduanya terpilih kemudian ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Lembata sebagai pemenang pilkada langsung. Selama lima tahun ke depan keduanya menjadi pemimpin Lembata untuk bersama masyarakat menata kabupaten baru tersebut menuju arah yang lebih baik lagi.
Masyarakat Lembata tentu tahu. Pilkada langsung itu menghabiskan banyak energi, uang, dan waktu. Hajatan politik itu adalah yang pertama kali dalam sejarah demokrasi selama rentang waktu enam puluh tahun terakhir. Lima paket putera-putera terbaik Lembata yang berlaga yakni Andreas Sinyo Langoday - Simon Geletan Krova, Piter Boliona Keraf - Ferdinandus Diri Amajari Lamak, Bediona Philipus - Begu Ibrahim, Yohanes Lake - Karolus Koto Langoday, dan Andreas Duli Manuk - Andreas Nula Liliweri pun menyudahi kompetisi demokrasi itu dengan aman dan nyaris tak menyisahkan persoalan berarti dalam proses perjalanan politik Lembata, khususnya pilkada langsung. Seluruh masyarakat pun paham bahwa sesungguhnya banyak (lima paket) yang dipanggil (baca: diseleksi KPUD) masuk bursa pencalonan tetapi satu paket yang dipilih untuk diutus menjadi pemimpin (Baca: Bupati dan Wakil Bupati).
Duet Amal -- begitu nama beken paket Andreas Duli Manuk - Andreas Nula Liliweri saat kampanye -- mengemas strategi merebut simpati dan dukungan masyarakat untuk memenangkan pilkada sehingga hari ini dilantik. Tak berlebihan kalau hari ini masyarakat Lembata legah dan akan melangkah bersama Manuk dan Liliweri membangun daerahnya. Merekalah pemimpin rakyat. Masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok desa seperti Lewopenutung di selatan Lembata atau di Atawatun, Ile Ape, misalnya, bisa mengajukan pertanyaan kepada Bupati Manuk dan Wakil Bupati Liliweri: apa maksud bupati rakyat? Macam mana mereka memerankan diri dan pemerintahan yang dipimpin sebagai bupati rakyat?
Catatan singkat ini penulis persembahkan untuk Bupati Manuk dan Wakil Bupati Liliweri yang telah terpilih sebagai bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat yang diamanahkan kepada seorang pemimpin kiranya menjadi perhatian selama memimpin rakyat. Sebagai putera Lembata yang peduli dengan kampung halaman, catatan ini setidaknya menjadi bahan masukan dan refleksi bagi Bupati dan Wakil Bupati terlantik sehingga dalam menyelenggarakan kepemimpinan dan pemerintahannya semampu mungkin guna memenuhi keinginan dan harapan masyarakat sebagaimana dijanjikan saat kampanye. Catatan ini juga diharapkan dapat memenuhi keinginan dan harapan masyarakat yang mungkin saban tahun hanya bersemayam dalam lubuk hatinya yang paling dalam dan tak pernah didengar oleh pemimpinnya. Padahal, sesungguhnya di sanalah lahan pengabdian pemimpin.
Bupati rakyat
Mungkin sedikit aneh mendengar ungkapan ‘bupati rakyat’. Namun secara sederhana berarti bupati (plus wakil bupati, tentunya) yang dipilih langsung melalui mekanisme demokrasi bernama pilkada. Bupati rakyat bisa juga berarti selalu sehati, sepikiran, seperasaan, dan sependeritaan dengan rakyat yang telah memilihnya. Dalam konteks Lembata, Manuk dan Liliweri menjadi bupati rakyat. Karena itu, mereka harus selalu berkomunikasi dengan rakyat dalam suka dan duka, untung dan malang. Komunikasi -- meminjam pendapat Gubernur NTT 1993 - 1998 Herman Musakabe — memainkan peranan penting dalam efektivitas sebuah kepemimpinan. Ia tidak hanya bisa bicara atau minta didengar orang lain, tetapi juga bisa mendengar suara rakyat yang mau dikoreksi (Pos Kupang, 25/7) Bupati rakyat harus membangun komunikasi dengan rakyat di waktu sehat maupun sakit. Jangan sampai saat rakyat histeris karena kelaparan akibat kekeringan pemimpin puncaknya malah menghabiskan waktu berlama-lama yang kurang produktif di hotel-hotel berbintang di Jakarta.
Bupati rakyat dituntut untuk menyatukan hati dan pikirannya dengan rakyat. Mereka juga harus benar-benar merasa diri sebagai rakyat yang telah dititipkan amanah guna menjalankan roda pemerintahan yang tentunya membutuhkan totalitas pengabdian. Bupati rakyat harus memaknai tugas sebagai panggilan jiwa jika ingin membebaskan rakyat dari berbagai ketertinggalan, baik fisik maupun mental-spiritual. Bupati rakyat tak tega saat menyaksikan rakyatnya berlama-lama menderita karena mengonsumsi buah bakau akibat gagal panen tetapi segera mencari solusi terbaik.
Bupati rakyat harus sadar bahwa berbagai keputusan yang diambil untuk dijalankan merupakan cerminan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Ia juga harus sadar bahwa di zaman yang serba terbuka ini segala persoalan rakyat harus dibuka secara transparan agar dapat dikelola bersama. Bupati rakyat sepantasnya menempatkan rakyat di bangku terdepan dalam setiap pengambilan keputusan sehingga tak menimbulkan persoalan-persoalan di kemudian hari yang justru kian membawa rakyat pada keengganan berpartisipasi dalam pembangunan.
Bupati rakyat juga dilarang bermewah-mewahan dengan uang rakyat di saat rakyat tengah didera berbagai penyakit seperti busung lapar, lumpuh layu, gizi buruk, dan aneka krisis multi dimensi lainnya. Atau secara umum, bupati rakyat adalah bupati yang selalu menyiapkan ruang batin untuk mendengar berbagai keluh-kesah, keinginan, dan cita-cita rakyatnya dan mau berjuang bersama rakyat untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin. Bupati rakyat harus memberikan pelayanan dengan hati dengan cepat, nyaman, dan transparan. Bupati rakyat harus menanggalkan — meminjam kata-kata Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Hadi Utomo — kepentingan ampibi: anak, menantu, ponakan, ibu serta kroni-kroninya dalam mengambil keputusan maupun penentuan proyek-proyek yang berurusan dengan kepentingan rakyat.
Problema ketertinggalan
Tak dapat dipungkiri, Lembata merupakan daerah otonom yang baru lepas dari induknya, Flores Timur (Flotim) pada 14 Oktober 1999 sesuai Undang-undang (UU) Otonomi Lembata No 52 Tahun 1999. Oleh karena itu, sebagai daerah otonom baru, Lembata masih harus terus berjuang untuk mengejar ketertinggalan sebagaimana daerah-daerah lain di NTT. Bahkan perjuangan itu sudah dilaksanakan duet Bupati Ande Manuk dan Wakil Bupati Ir Feliks Kobun (kini almahrum, pen) sejak mereka dilantik menjadi Bupati/Wakil Bupati Lembata definitif pada 4 Agustus 2001 atau empat bulan setelah pemilihannya.
Sebagai sebuah daerah yang masih tertinggal, harian Kompas pun menaruh perhatian besar guna mengangkat persoalan itu sehingga bisa membuka mata hati Jakarta agar ikut membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi Lembata. Minimal dalam urusan menggelontorkan dana ke Lembata guna membiayai daerah itu, terutama dalam hal meretas isolasi fisik, misalnya, yang saat itu masih sangat sulit. Apalagi, begitu tulis koran nasional berpengaruh itu, dari wilayahnya seluas 1.266,38 km persegi, sebagian besar wilayah daratannya masih terisolasi. Kalaupun jaringan jalannya sudah menusuk hingga sejumlah perkampungan pedalaman, kondisinya masih mirip jalan liar. Badan jalannya sempit, berlubang-lubang atau masih dengan gundukan batu liar yang sangat menghambat kelancaran lalu lintas.
Sebagai contoh, Kampung Kluang di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun. Dari Lewoleba, Ibu kota Kabupaten Lembata, jaraknya hanya sekitar 28 km arah selatan dan jaringan jalannya sudah tembus. Namun tidak perlu terkejut. Amat jarang angkutan pedesaan ke sana. Bepergian ke kampung itu, pilihan cepat hanya dengan kendaraan sewaan jenis jip. Tarifnya luar biasa mahalnya, Rp 400.000,00 sekali jalan. Menjadi sangat mahal karena perjalanan harus ditempuh antara tiga sampai empat jam. Kendaraan terpaksa merangkak sangat pelan karena harus menerobos jalan yang belum tersentuh penataan semestinya. "Wilayah perkampungan termasuk daerah kantung produksinya yang masih terisolasi, merupakan kendala serius Lembata," tutur Bone Pukan (40), warga Kota Kupang asal Lembata, yang terakhir mengunjungi kampung kelahirannya, Kluang, April lalu. "Hasil kebun kami seperti kemiri, jambu mete, kacang dan lainnya untuk sementara sulit dipasarkan akibat kendala transportasi itu," kata Yoseph Enga (40) di Desa Belabaja, Nagawutun (Baca: Kompas, 21 Mei 2002). Tapi, itu sudah terjadi beberapa tahun silam dan kini Lembata sudah sedikit berubah dan harus dibangun dengan sumber daya dan dana yang memadai. Ini tentu ditopang dengan model kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati Lembata yang selalu bekerja dengan agenda rakyat.
Sebagai bupati dan wakil bupati rakyat, Manuk dan Liliweri harus memberdayakan rakyatnya. Mereka harus juga memberdayakan ekonomi rakyat serta aparatur pemerintahannya agar dapat memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Bupati rakyat juga harus mendengar dan menerima berbagai keluhan masyarakat untuk segera ditindaklanjuti. Atau meneruskan persoalan-persoalan rakyat kepada pemerintah pusat bila hal itu diperlukan. Tentunya, laporan-laporan itu sesuai dengan kondisi riil. Karena itu, amat relevan apa yang diingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seusai mengunjungi persawahan dan berdialog langsung dengan petani dan sejumlah anggota masyarakat di Desa Sukamanah, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/2 2005) pagi. Saat itu, Presiden menegaskan bahwa pihaknya tidak suka menerima laporan-laporan asal presiden senang (APS), yang isinya hanya untuk menyenangkan hati presiden, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selama kunjungan itu, Kepala Negara tidak didampingi satu pun menteri Kabinet Indonesia Bersatu, termasuk Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono. Beliau hanya didampingi Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.
Dalam konteks Lembata yang masih jauh tertinggal sangat tepat menggunakan pola kepemimpinan yang diterapkan oleh Gubernur Piet A Tallo, SH. Dalam suatu kesempatan diskusi bersama sejumlah wartawan Ibu kota di Wisma NTT, Tebet Timur Dalam, Jakarta, Tallo yang sukses memimpin Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dua periode ini selalu menekankan model kepemimpinan menyejukkan. Beliau mengatakan, dalam memimpin NTT dengan heterogenitas masalah maka seorang harus memimpin dengan hati. Model kepemimpinan ala Gubernur Tallo masih relevan bagi Manuk dan Liliweri dalam tugasnya nanti. Dua pemimpin ini tentu tahu. Bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Selamat datang pemimpin Lembata. Selamat bertugas bersama rakyat!
Ansel Deri, putera Lembata, kini tinggal di Jakarta
Sumber: harian POS KUPANG, 3 Agustus 2006
Monday, October 22, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment