TULISAN Charles Beraf dengan judul "Jangan Bertindak Bodoh" yang dimuat di Harian Pos Kupang (18/6/2007) memang sangat menukik. Menarik untuk dicermati lebih serius. Letak keseriusannya, hemat saya, bukan karena judulnya yang yang vulgar atau terlalu sensasi tetapi apakah isi tulisan itu mengontribusi nilai pencerahan kepada publik atau tidak. Inilah persoalannya.
Kita boleh sepakat bahwa problematik industri ekstraktif di Lembata merupakan pelajaran berharga untuk mendesain demokrasi kita secara arif dan proposional. Beraf dalam tulisannya menguraikan hal itu secara sistematis. Menurutnya, prinsip diskursus demokrasi: semakin kuat antitese, semakin kuat pula diskursus demokrasi yang terbangun di tengah masyarakat. Itu benar. Dan itulah faktum yang sedang berbicara di Lembata sebenarnya.
Dengan kata lain, semakin derasnya protes dan gelombang demonstrasi (baca:antitese) dari rakyat atas proyek pertambangan ini (baca:tese), maka semakin terkukuhnya pendirian demokrasi (baca:sintese). Lalu, mengapa Beraf berteriak "jangan bertindak bodoh" kalau memang antitese-antitese itu adalah logika substansial demokrasi. Ataukah Anda yang mengsinterpretasi secara keliru (error interpretation) atas upaya demokratis rakyat kecil seperti ini. Kecemerlangan ide Anda mengalami peruntuhan mutlak di sini ketika tese, antitese dan sintese yang Anda bangun terkontradiktif an sich.
Biarlah rakyat menentukan sendiri wajah demokrasi mereka. Sudah lama zona demokrasi mereka dipasung dan dipenjara. Sejauh, mereka tidak mengusung "antitese" dalam bentuk kekerasan fisik. Demokrasi butuh proses. Apa pun alasan dasar di balik pro-kontra proyek industri ekstraktif Lembata, yang pasti demokrasi terus berproses menjadi (in the making) menuju kematangan.
Alex Inkeles (Introduction: On Measuring Democracy, 1990), demokrasi ibarat pengembara di padang pasir, yang dalam perjalanannya mencapai tanjakan-tanjakan kecil, terkadang lintasan terjal berliku, hingga akhirnya mencapai ketinggian tertentu. Kita boleh katakan, demokratisasi di Lembata baru ada pada level "terjal". Itu berarti perjalanan demokrasi dan tantangannya semakin luas dan kompleks.
Saya "angkat jempol" kepada penulis warga Takaplager ini, karena ia juga mengusung UU No. 23 /1997 tentang pengelolaan lingkungan, sebagai kerangka acuan proyek pertambangan Lembata. Setidaknya, menurut Charles, ada tiga tahap AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), RKL (Rencana Kelola Lingkungan) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan). Saya berpikir, ini hal yang penting. Eksplorasi kekayaan alam harus dimbangi dengan pemeliharaan (duty of care) atas alam itu sendiri.
Hanya rakyat kecil (kontra) tidak tega menunggu proses itu. Kasus Freeport dan Lapindo adalah "guru" paling berharga bagi mereka. Kalau Charles melihat kasus Lapindo dan Freeport berakar pada soal "ketidakcermatan" survai, maka saya menepis pendapat Anda dalam ranah ini. PT Lapindo atau Freeport merupakan industri ekstraktif yang terbesar dan lebihterprofesional di negeri ini.
Tentunya, para ahli dengan segala keahlihan dan kecermatan sudah melakukan survai. Bahkan, mereka mengikuti kerangka acuan AMDAL, RKL, dan RPL seperti apa yang juga "dimutlakkan" oleh Charles atas proyek pertambangan Lembata. Atas hasil survai para ahli ini pun maka "palu" pun diketuk tanda proyek segera dimulai. Sayangnya, hasil survai para ahli profesional (baik ahli asing maupun pribumi) kedua PT besar ini berujung pada situasi yang mencekam. Bukan hanya habitus envioromental yang rusak tapi manusia itu sendiri terancam: kesengsaraan, pengungsian, kesakitan bahkan kematian. Lagi-lagi siapa yang bertindak bodoh?
Saya kira rakyat tidak terlalu bodoh untuk "menunggu" pertambangan Lembata berakhir dengan drama "ratap tangis’ seperti apa yang dialami oleh saudara-saudarinya di Papua atau di Jawa. Kalaupun kita menunggu, taruhannya sangat mahal. Antara mati atau hidup! Saya merasa heran dengan pemimpin kita, seakan-akan tanpa pertambangan ini kita tidak akan bisa hidup lagi. Rakyat sudah lama hidup tanpa industri tambang seperti ini, toh mereka masih bisa hidup. Jangan-jangan ada udang di balik batu.
Kearifan rakyat kecil yang kerap "dicap" bodoh perlu dicontohi oleh para pemimpin atau siapa saja, termasuk penulis Takaplager yang menulis opini "Jangan Bertindak Bodoh". Kalau saja Hobbes bisa diajak bicara sekarang, maka teorinya tentang "Leviathan" di mana rakyat dengan natural liar berperilaku biadab perlu ditertibkan akan ditentang habis-habisan. Yang perlu ditertibkan sekarang adalah tabiat pemimpin yang tidak "beres". Pemimpin yang tidak mendengarkan orang lain, yang semestinya didengari yaiturakyatnya sendiri. Kebiadaban tahbiat ini meluas dengan praktik kecolongan "mulut kotor" termasuk mencap orang lain yang berseberangan pendapat: bodoh, sampah, binatang dan boleh anda tambah sendiri yang lain.
Logika pembangunan daerah itu baik. Promosi dan cari investor sebanyak-banyaknya untuk menanam investasi di daerah kita juga tidak keliru. Hanya, kadang tujuannya baik tapi caranya "kurang elok". Rakyat tidak diberi "common space" untuk berbicara. Saya pikir ini dasar substansial pemotresan masyarakat. Artinya, baik pihak pro maupun kontra berpijak pada argumentasi masing-masing. Tapi apalah artinya kalau hanya mutlak-mutlakan antitese-antitese sendiri yang tidak solusif. Itu hanya mengerucutkan nalar sosial kita kepada titil nol.
Banyak persoalan yang terpresepsi dalam masyarakat oleh motif rasionalisasi "tujuan baik cara buruk". Unsur tujuan dijagokan sementara aspek cara yang bersifat pencerahan diabaikan.
Misalkan saja, tujuan Charles dengan tulisannya: Jangan Bertindak Bodoh! Tujuannya baik, hanya cara mengapresiasinya, hemat saya, tidak mencerahkan publik. Itu juga dosa demokrasi. Karena dalam ranah demokrasi silang pendapat itu biasa tapi mencaci maki orang lain, apalagi mencap orang lain bodoh adalah kutukan berat atas pertumbuhan demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, adalah keliru besar kalau kita menangani konflik pertambangan Lembata dengan jurus maki-makian, mutlak-mutlakan, dan apalagi mencap orang lain "bodoh". Semua perilaku biadab ini tidak pada tempatnya. Perilaku seperti ini hanya menampilkan kebanalitasan kita. Lihat, sekarang kita "berkelahi" antara rakyat (pro) dengan rakyat(kontra) bahkan rakyat dengan DPR atau Bupati tapi PT. Merukh Enterprise tinggal duduk manis dan senyum "diam-diam".
Kalau saja rakyat bisa diajak intervensi, maka mereka juga akan berteriak hal yang sama "jangan berpikir bodoh". Karena bagaimanapun, don’t step on the underdogs (istilah Sutan Syahrir). Jangan pernah menginjak orang yang sekarat!
Fidel Hardjo, staf Televisi TBN Asia, tinggal di Manila
Sumber: Pos Kupang, 25 JUni 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment